BAB VIII
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN
DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN BERNEGARA
Secara terminology tokoh yang mengembangkan istilah tersebut dalam dunia Ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Khun dalam bukunya yang berjudul “The Structure Of Scientific Revolution”, paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai) sehingga merupakans uatu sumber hukum, metode serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, cirri serta karakter ilmu pengetahuan itusendiri.
Dalam masalah yang popular istilah paradigma berkembang menjadi terminology yang mengandung konotasi pengertian sumber nilai, kerangkapikir, orientasidasar,sumber asas serta tujuan dari suatu perkembangan, perubahan serta proses dari suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang pembangunan & pendidikan.
B. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Tujuan Negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah“ Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia” hal ini merupakan tujuan Negara hukum formal, adapun rumusan “Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa” hal ini merupakan tujuan Negara hukum material, yang secara keseluruhan sebagai tujuan khusus atau nasional.
Adapun tujuan umum atau internasional adalah“ ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Secara filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai Pancasila. Unsur-unsur hakikat manusia “monopluralis” meliputi susunan kodrat manusia, terdiri rokhani (jiwa) dan jasmani (raga), sifat kodrat manusia terdiri makhluk individu dan makhluk social serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan.
C. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan IPTEK
Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (Iptek) pada hakikatnya merupakan suatu hasil Reativitas rohani manusia. Unsur rohani (jiwa) manusia meliputi aspek akal, rasa, dan kehendak. Akal merupakan potens irohaniah manusia dalam hubungannya dengan intelektualitas, rasa dalam bidang estetis, dan kehendak dalam bidang moral (etika).
Tujuan yang esensial dar iIptek adalah demi kesejahteraan umatmanusia, sehingga Iptek pada hakekatnya tidak bebas nilai namun terikat oleh nilai. Pengembangan Iptek sebagai hasil budaya manusia harus didasarkan pada moral Ketuhanan dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.
-Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengkomplementasikan ilmu pengetahuan, mencipta, keseimbangan antara rasional dan irasional, antara akal, rasa dan kehendak.
Berdasarkan sila ini Iptek tidak hanya memikirkan apa yang ditemukan, dibuktikan dan diciptakan tetapi juga dipertimbangkan maksud dan akibatnya apakah merugikan manusia dengan sekitarnya.
-Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, memberikan dasar-dasar moralitas bahwa manusia dalam mengembangkan Iptek harus bersifat beradab. Iptek adalah sebagai hasil budaya manusia yang beradab dan bermoral.
-Sila Persatuan Indonesia, mengkomplementasikan universalia dan internasionalisme (kemanusiaan) dalam sila-sila yang lain. Pengembangan Iptek hendaknya dapat mengembangkan rasa nasionalisme, kebesaran bangsa serta keluhuran bangsa sebagai bagian dari umat manusia di dunia.
-Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, mendasari pengembangan Iptek secara demokratis. Artinya setiap ilmuwan harus memiliki kebebasan untuk mengembangkan Iptek juga harus menghormati dan menghargai kebebasan orang lain dan harus memiliki sikap yang terbuka untuk dikritik, dikaji ulang maupun dibandingkan dengan penemuan ilmuwan lainnya.
-Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mengkomplementasikan pengembangan Iptek haruslah menjaga keseimbangan keadilan dalam kehidupan kemanusiaan yaitu keseimbangan keadilan dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat bangsa dan negara serta manusia dengan alam lingkungannya.
D. Pancasila sebaga Paradigma Pembangunan POLEKSOSBUDHANKAM
* Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Bidang Politik
Dalam sistem politik negara harus mendasarkan pada kekuasaan yang bersumber pada penjelmaan hakikat manusia sebagai individu –mahluk sosial yang terjelma sebagai rakyat. Selain sistem politik negara Pancasila memberikan dasar-dasar moralitas politik negara. Drs. Moh. Hatta, menyatakan bahwa “negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa, atas dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Hal ini menurutnya agar memberikan dasar-dasar moral supaya negara tidak berdasarkan kekuasaan.
Dalam sila-sila Pancasila tersusun atas urut-urutan sistematis, bahwa dalam politik negara harus mendasarkan pada kerakyatan (sila IV), adapun pengembangan dan aktualisasi politik negara berdasarkan pada moralitas berturut-turut moral ketuhanan, moral kemanusiaan (sila II) dan moral persatuan, yaitu ikatan moralitas sebagai suatu bangsa (sila III). Adapun aktualisasi dan pengembangan politik negara demi tercapainya keadilan dalam hidup bersama (sila V).
* Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ekonomi
Sistem ekonomi Indonesia mendasarkan atas kekeluargaan seluruh bangsa.
* Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial Budaya
Dalam pengembangan sosial budaya pada masa reformasi dewasa ini kita harus mengangkat nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai dasar nilai yaitu nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Prinsip etika Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik, artinya nilai-nilai Pancasila mendasarkan pada nilai yang bersumber pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Dalam rangka pengembangan sosial budaya, Pancasila sebagai kerangka kesadaran yang dapat mendorong untuk universalisasi, yaitu melepaskan simbol-simbol dari keterikatan struktur, dan transendentalisasi. yaitu meningkatkan derajat kemerdekaan manusia, kebebasan spiritual.
* Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hankam
Pertahanan dan Keamanan negara harus mendasarkan pada tujuan demi tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa.Pertahanan dan Keamanan negara haruslah mendasarkan pada tujuan demi kepentingan rakyat sebagai warga negara. Pertahanan dan keamanan harus menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan dan Hankam diperuntukkan demi terwujudnya keadilan dalam masyarakat agar negara benar-benar meletakkan pada fungsi yang sebenarnya sebagai suatu negara hukum dan bukannya suatu negarayang berdasarkan kekuasaan.
* Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Kehidupan Beragama
Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia mengalami adanya suatu kemunduran, yaitu kehidupan beragama yang tidak berkemanusiaan. hal ini dapat kita lihat adanya suatu kenyataan banyak terjadinya konflik sosial pada masalah-masalah SARA, terutama pada masalah agama, sebagai contoh tragedi di Ambon, Poso, Medan, Mataram, Kupang, dan masih banyak lagi daerah yang lain yang terlihat semakin melemahnya toleransi dalam kehidupan beragama sehingga menyimpang dari asas kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pancasila telah memberikan dasar-dasar nilai yang fundamental bagi umat bangsa untuk dapat hidup secara damai dalam kehidupan beragama di negara Indonesia tercinta ini. Sebagai makhluk Tuhan YME manusia wajib untuk beribadah kepada Tuhan YME dimanapun mereka hidup. Akan tetapi Tuhan menghendaki kehidupan manusia yang penuh kedamaian dengan hidup berdampingan, saling menghormati, meskipun Tuhan menciptakan adanya perbedaan, berbangsa-bangsa, bergolong-golong, berkelompok, baik sosial, politik, budaya maupun etnis tidak lain untuk kehidupan yang damai berdasar pada kemanusiaan.
E. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi
Negara Indonesia ingin mengadakan suatu perubahan, yaitu menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara demi terwujudnya masyarakat madani yang sejahtera, masyarakat yang bermartabat kemanusiaan yang menghargai hak-hak asasi manusia, masyarakat yang demokratis yang bermoral religius sertamasyarakat yang bermoral kemanusiaan dan beradab.
Reformasi adalah mengembalikan tatanan kenegaraan kearah sumber nilai yang merupakan platform kehidupan bersama bangsa Indonesia, yang selama ini diselewengkan demi kekuasaan sekelompok orang, baik pada masa orde lama maupun orde baru. Proses reformasi walaupun dalam lingkup pengertian reformasi total harus memiliki platform dan sumber nilai yang jelas dan merupakan arah, tujuan, serta cita-cita yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
1. Gerakan Reformasi
Pelaksanaan GBHN 1998 pada Pembangunan Jangka Panjang II Pelita ketujuh bangsa Indonesia menghadapi bencana hebat, yaitu dampak krisis ekonomi Asia terutama Asia Tenggara sehingga menyebabkan stabilita spolitik menjadi goyah. Sistem politik dikembangkan kearah sistem “Birokratik Otoritarian”dan suatu sistem “Korporatik”. Sistem ini ditandai dengan konsentrasi kekuasaan dan partisipasi didalam pembuatan keputusan-keputusan nasional yang berada hampir seluruhnya pada tangan penguasa negara, kelompok militer, kelompok cerdik cendikiawan dan kelompok pengusaha oligopolistik dan bekerjasama dengan mayarakat bisnis internasional. Awal keberhasilan gerakan reformasi tersebut ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian disusul dengan dilantiknya Wakil Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie menggantikan kedudukan Presiden.Kemudian diikuti dengan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan.
Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan transisiyang akan mengantarkan rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh, terutama perubahan paket UU politik tahun 1985, kemudian diikuti dengan reformasi ekonomi yang menyangkut perlindungan hukum. Yang lebih mendasar reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi negara yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui Pemilu secepatnya.
a. Gerakan Reformas dan Ideologi Pancasila
Art iReformas isecara etimologis berasal dar ikata reformation dengan akar kata reform yang artinya “make or become better by removing or putting right what is bad or wrong”. Secara harfiah reformasi memiliki arti suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat.
Oleh karena itu suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-penyimpangan. Misalnya pada masa orde baru, asas kekeluargaan menjadi nepotisme, kolusi, dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan semangat UUD 1945.
2. Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas (landasanideologis) tertentu. Dalam halini Pancasilas ebagai ideology bangsa dan Negara Indonesia.
3. Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasarkan pada suatu kerangka structural tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan reformasi.
4. Reformasi dilakukan kearah suatu perubahan kondisi serta keadaan yang lebih baik dalam segala aspek antara lain bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan keagamaan.
5. Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etika sebagai manusia yang berketuhanan yang maha esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.
b. Pancasila sebagai Dasar Cita-cita Reformasi
Menurut Hamengkubuwono X, gerakan reformasi harus tetap diletakkan dalam kerangka perspektif Pancasila sebagai landasan cita-cita dan ideologi sebab tanpa adanya suatu dasar nilai yang jelas maka suatu reformasi akan mengarah pada suatu disintegrasi, anarkisme,brutalisme pada akhirnya menuju pada kehancuran bangsadan negara Indonesia. Maka reformasi dalam perspektif Pancasila pada hakikatnya harus berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila sebagai sumber nilai memiliki sifat yang reformatif artinya memiliki aspek pelaksanaan yang senantiasa mampu menyesuaikan dengan dinamika aspirasi rakyat. Dalam mengantisipasi perkembangan jaman yaitu dengan jalan menata kembali kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.
2. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Hukum
Setelah peristiwa 21 Mei 1998 saat runtuhnya kekuasaan orde baru, salah satu subsistem yang mengalami kerusakan parah adalah bidang hukum. Produk hukum baik materi maupun penegaknya dirasakan semakin menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kerakyatan serta keadilan. Kerusakan atas subsistem hukum yang sangat menentukan dalam berbagai bidang misalnya, politik, ekonomi dan bidang lainnya maka bangsa Indonesia ingin melakukan suatu reformasi, menata kembali subsistem yang mengalami kerusakan tersebut.Pancasila sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum Dalam negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kaidah yang merupakan sumber hukum positif yang dalam ilmu hukum tata negara disebut staats fundamental. Sumber hukum positif di Indonesia tidak lain adalah Pancasila. Hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat, maka hukum harus selalu diperbarui agar aktual atau sesuai dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat. Sebagai cita-cita hukum, Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutifmaupun fungsi regulatif. Dengan fungsi regulatif Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar yang diberikan oleh Pancasila maka hukum akan kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum itu sendiri.
Dasar Yuridis Reformasi Hukum
Reformasi total sering disalah artikan sebagai dapat melakukan perubahan dalam bidang apapun dengan jalan apapun. Jika demikian maka kita akan menjadi bangsa yang tidak beradab, tidak berbudaya, masyarakat tanpa hukum, yang menurut Hobbes disebut keadaan “homo homini lupus”,manusia akan menjadi serigala manusia lainnya dan hukum yang berlaku adalah hukum rimba.
UUD 1945 beberapa pasalnya dalam praktek penyelenggaraan negara bersifat multi interpretable (penafsiran ganda), dan memberikan porsi kekuasaanyang sangat besarkepada presiden (executive heavy). Akibatnya memberikan kontribusi atas terjadinya krisis politik serta mandulnya fungsi hukum dalam negara RI.
Berdasarkan isi yang terkandung dalam Penjelasan UUD 1945, Pembukaan UUD 1945 menciptakan pokok-pokok pikiran yang dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945 secara normatif. Pokok-pokok pikiran tersebut merupakan suasana kebatinan dari UUD dan merupakan cita-cita hukum yang menguasai baik hukum dasar tertulis (UUD 1945) maupun hukum dasar tidak tertulis (Convensi).
Selain itu dasar yuridis Pancasila sebagai paradigma reformasi hukum adalah Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, yang berarti sebagai sumber produk serta proses penegakan hukum yang harus senantiasa bersumber pada nilai-nilai Pancasila dan secara eksplisit dirinci tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila.
Dalam era reformasi pelaksanaan hukum harus didasarkan pada suatu nilai sebagai landasan operasionalnya. Reformasi pada dasarnya untuk mengembalikan hakikat dan fungsi negara pada tujuan semula yaitu melindungi seluruh bangsadan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara pada hakikatnya secara formal harus melindungi hak-hak warganya terutama hak kodrat sebagai suatu hak asasi yang merupakan karunia Tuhan YME. Oleh karena itu pelanggaran terhadap hak asasi manusia adalah sebagai pengingkaran terhadap dasar filosofis negara misalnya pembungkaman demokrasi, penculikan, pembatasan berpendapat berserikat, berunjuk rasa dan lain sebagainya. Pelaksanaan hukum pada masa reformasi harus benar-benar dapat mewujudkan negara demokrasi dengan suatu supremasi hukum. Artinya pelaksanaan hukum harus mampu mewujudkan jaminan atas terwujudnya keadilan (sila V) dalam suatu negara yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi setiap warga negara tidak memandang pangkat, jabatan, golongan, etnisitas maupun agama. Setiap warganegara bersamaan kedudukannya di muka hukum dan pemerintah (pasal 27 UUD 1945). Jaminan atas terwujudnya keadilan bagi setiap warga negara dalam hidup bersama dalam suatu negara yang meliputi seluruh unsur keadilan baik keadilan distributif, keadilan komulatif, serta keadilan legal.
Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Hukum
Dalam era reformasi pelaksanaan hukum harus didasarkan pada suatu nilai sebagai landasan operasionalnya. Reformasi pada dasarnya untuk mengembalikan hakikat dan fungsi negara pada tujuan semula yaitu melindungi seluruh bangsadan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara pada hakikatnya secara formal harus melindungi hak-hak warganya terutama hak kodrat sebagai suatu hak asasi yang merupakan karunia Tuhan YME. Oleh karena itu pelanggaran terhadap hak asasi manusia adalah sebagai pengingkaran terhadap dasar filosofis negara misalnya pembungkaman demokrasi, penculikan, pembatasan berpendapat berserikat, berunjuk rasa dan lain sebagainya.
Pelaksanaan hukum pada masa reformasi harus benar-benar dapat mewujudkan negara demokrasi dengan suatu supremasi hukum. Artinya pelaksanaan hukum harus mampu mewujudkan jaminan atas terwujudnya keadilan (sila V) dalam suatu negara yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi setiap warga negara tidak memandang pangkat, jabatan, golongan, etnisitas maupun agama. Setiap warganegara bersamaan kedudukannya di muka hukum dan pemerintah (pasal 27 UUD 1945). Jaminan atas terwujudnya keadilan bagi setiap warga negara dalam hidup bersama dalam suatu negara yang meliputi seluruh unsur keadilan baik keadilan distributif, keadilan komulatif, serta keadilan legal.
Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik
Landasan aksiologi (sumber nilai) bagi sistem politik Indonesia adalah sebagaimana terkandung dalam Deklarasi Bangsa Indonesia yaitu pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi “…..maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Nilai demokrasi politik yang terkandung dalam Pancasila merupakan fondasi bangunan negara yang dikehendaki oleh para pendiri negara kita dalam kenyataanya tidak dilaksanakan berdasarkan suasana kerokhanian berdasarkan nilai-nilai tersebut, dan pada realisasinya baik pada masa orde lama maupun orde baru negara lebih mengarah pada praktek otoritarianisme yang mengarah pada porsi kekuasaan yang terbesar kepada presiden. Nilai demokrasi politik tersebut secara normatif terjabar dalam pasal-pasal UUD 1945 yaitu pasal 1 ayat 2 menyatakan: “ kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh majelis permusyawaratan rakyat” Pasal 2 ayat 2 menyatakan, “ Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota dewan paerwakilan rakyat, ditambah utusan dari daerah dan golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang ”Pasal 5 ayat 1 menyatakan, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” Pasal 6 ayat 2 menyatakan, “ Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak “ Adapun esensi dari pasal-pasal tersebut berdasarkan UUD 1945 adalah :
a. Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam Negara
b. Kedaulatan rakyat dijalankan sepenuhnya oleh MPR
c. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR, dan bertanggung jawab kepada MPR
d. Produk hukum apapun yang dihasilkan oleh presiden baik sendiri maupun bersama dengan lembaga lain, kekuatanya berada dibawah MPR atau produk-produknya.
Perlu diketahui pula bahwa rakyat adalah asal mula kekuatan negara, oleh sebab itu paradigma ini merupakan dasar pijak dalam reformasi politik. Dan reformasi politik atas sistem politik harus melalui Undang-undang yang mengatur sistem politik tersebut, dengan tetap mendasarkan pada paradigma nilai-nilai kerakyatan sebagaimana terkandung dalam Pancasila
Susunan Keanggotaan MPR
Untuk melakukan suatu perubahan terhadap susunan keanggotaan MPR, DPR dan DPRD , terlebih dahulu harus melakukan reformasi terhadap peraturan perundang-undangan yang merupakan dasar acuan penyusunan keanggotaan MPR DPR. Susunan MPR yang termuat dalam Undang-undang politik no.2/1985 dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat seperti yang tertuang dalam semangat UUD 1945. maka dari itu rakyat bertekad melakukan reformasi dengan mengubah sistem politik tersebut melalui sidang istimewa MPR tahun 1998 yang kemudian dituangkan dalam UU Politik tahun 1999, adapun perubahan yang telah dilakukan antara lain pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa :
* Jumlah anggota MPR sebanyak 700 orang
* Jumlah anggota DPR hasil Pemilu sebanyak 500 orang
* Utusan Daerah sebanyak 135 orang, yaitu 5 orang dari setiap Daerah Tingkat 1
* Utusan Golongan sebanyak 65 orang
Kemudian perubahan yang mendasar berikutnya pasal 2 ayat 3 yaitu utusan daerah dipilih oleh DPR. Dan DPR dipilih berdasarkan hasil pemilu yang bersifat demokratis.
Susunan Keanggotaan DPR
Perubahan keanggotaan DPR tertuang dalam UU no.4 pasal 11 adalah sebagai berikut :
Pasal 4 ayat 2 menyatakan keanggotaan DPR terdiri atas,
a. anggota partai politik hasil pemilu
b. anggota ABRI yang diangkat
Pasal 11 ayat 3 menjelaskan,
a. anggota partai hasil pemilu sebanyak 462 orang
b. anggota ABRI yang diangkat sebanyak 38 orang
Namun berkaitan dengan keanggotaan ABRI di DPR masih ada sebagian masyarakat yang menolak, akhirnya berdasarkan sidang istimewa MPR tahun 1998 anggota ABRI dikurangi secara bertahap. hal ini berdasar pada pertimbangan dan hasil musyawarah masih perlu partisipasi ABRI dalam sistem demokrasi demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Susunan Keanggotaan DPRD Tingkat 1
Susunan Keanggotaan DPRD Tingkat I yang tertuang dalam UU Politik no.4 tahun 1999, sebagai berikut :
a.Pasal 18 ayat 1 bahwa pengisian anggota DPRD Tingkat I dilakukan melalui Pemilu dan pengangkatan
b.Pasal 18 ayat 2 menyatakan bahwa DPRD I terdiri atas anggota partai politik hasil pemilihan umum, dan anggota ABRI yang diangkat
b.Pasal 18 ayat 2 menyatakan bahwa DPRD I terdiri atas anggota partai politik hasil pemilihan umum, dan anggota ABRI yang diangkat
c.Pasal 18 ayat 3 menyatakan jumlah anggota DPRD I ditetapkan sekurang-kurangnya 45 orang dan sebanyak-banyaknya 100 orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat.
Susunan Keanggotaan DPRD II
Susunan keanggotaan DPRD II yang tertuang dalam UU Politik No. 4 Tahun 1999 adalah :
a.Pasal 25 ayat 1, menyatakan pengisian anggota DPRD II dilakukan berdasar pada hasil Pemilu dan pengangkatan
b.Pasal 25 ayat 2 menyatakan, DRPD II terdiri atas anggota partai politik hasil Pemilu, dan anggota ABRI yang diangkat
c.Pasal 25 ayat 3 menyatakan, jumlah anggota DPRD II ditetapkan sekurang-kurangnya 20 orang dan sebanyak-banyaknya 45 orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat
Demikian perubahan atas UU tentang susunan Anggota MPR, DPR, dan DPRD yang diharapkan mencerminkan nilai kerakyatan sebagaimana terkandung dalam sila keempat Pancasila yang merupakan Paradigma demokrasi.
Reformasi Partai Politik
Dalam UU Politik no.3 tahun 1975, Jo UU No.3 tahun 1985 ditentukan bahwa partai politik dan golongan karya hanya meliputi 3 macam, yaitu, Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia, ketentuan ini tidak mencerminkan nilai kerakyatan sebagaimana terkandung dalam sila keempat Pancasila, dan tidak sesuai pula dengan semangat UUD 1945 pasal 28, serta hakikat nilai Pancasila yang bermakna keaneka ragaman akan tetapi tetap satu kesatuan. Dalam mengatur adanya partai politik tertuang dalam UU no.2 tahun 1999 tentang partai politik yang lebih demokratis dan memberikan kebebasan serta keleluasaan untuk menyalurkan aspirasinya. Adapun ketentuanya adalh sebagai berikut:
a.Pancasila sebagai dasar negara dari NKRI dalam anggaran dasar partai
b.Asas atau ciri, aspirasi dan program partai politik tidak bertentangan dengan pancasila
c.Keanggotaan partai politik bersifat terbuka untuk setiap warga negara Republik Indonesia yang telah mempunyai hak pilih
d.Partai politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing, bendera kesatuan RI sang merah putih, bendera negara asing gambar perorangan dan nama serta lambang partai lain yang telah ada.
Atas ketentuan UU tersebut maka semakin banyak partai-partai politik baru yang hingga saat ini mencapai 114 partai politik, namun pada kenyataanya, yang memenuhi syarat untuk mengikuti emilu hanya 48 partai politik. Dan partai itulah yang ikut dalam pemilu tahun 1999. dalam pelaksanaan pemilu juga dilakukan adanya perubahan yang diatur dalam UU no. 3 tahun 1999 tentang pemilu, yang berisi tentang kejujuran, keadilan, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Dan untuk penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bebas dan mandiri, yang terdiri atas unsur-unsur partai politik peserta pemilu dan unsur pemerintah yang bertanggung jawab terhadap Presiden. Dengan adanya ketentuan UU tersebut sistemik pelaksanaan Pemilu tahun 1999 akan bersifat demokratis, bahkan ditambah dengan adanya kebebasan untuk membentuk pemantau Pemilu baik dari dalam maupun luar negeri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar